Jumat, 18 November 2011

ASPEK HUKUM  PERAN KELEMBAGAAN POLRI
TERHADAP PENANGANAN TERORISME
DALAM NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
 

By   Wahyudi.Sulistyo, SPd. MH

ABSTRAC
 
“ Jurisdictional aspect Acts Pidana terrorism With Police Role In terrorism Remove at Republic Of Indonesia Unity State “ . Terrorism constitutes crime pass by organized State even constitutes to act international Crime that have far-flung network and gets to threaten tranquility and security. Realise that terrorist action gets happening where just and indiscriminate, therefore needs to understand about acts terrorism crime. Republic Of Indonesia State police force strictly gets effort to tackling its happening action terrorizes that frets society. and for gets to catch agents terrorizing, enforcer agency sentences notably Police be not as easy as if our return puts hand out. To tackling action terrorist enforcer sentences to need strong law umbrella.  To ideology a terrorist, trick whatever will be sailed through by reaches its wish. Including utilize bomb and a variety lainya's modish weapon that can evoke to have cold feet that tremendous. In brief “ Bomb “ was made as weapon of effective terrorist politics after render its wish. they no longer thinking up back humanitarianism manner, they no longer care again with soul or wound victim – horrible wound that begat by Bomb explosion, any time they want, therefore happens.
Of aforesaid background, therefore writer identification about problem as:   First , what is factor – causal factor that becomes law aspect act terrorism crime ?  Both of , how is State police force role Republic Of Indonesia in terrorism remove at Republic Of Indonesia Unity State?   Third , how balloon filling interprestation an aspect sentences to act terrorism crime with Police role in extirpate terrorism at Republic Of Indonesia Unity State? . There is aim even of this thesis research is:  First, to find factor what that cause its happening terrorizing and to know indicator what does be made entry in jurisdictional aspect acts terrorism crime. Both of, to know effort – Police effort in remove acts terrorismcrime, beginning of handle zoom scene of action matter comes up hand over phase take proceedings. Third, to formulate a concept how Police role in interprestation aspect sentences to act terrorism crime as effort of Police in extirpate terrorism at NKRI.
In this thesis writing done by theory and principality approaching, which is civic theory who followed by UUD 1945 and Legality Principalities, Oportunitas's principality, Plichtmatigheid's principality (Principality does bit), principality third that is basis for one Police to utilize its authority in its task performing as enforcer of law. On Principality does bit this constitute Police task performing that gets preventif's character and refresif in face prevention a scene acts pidana who will happen.  And utilizes analytical descriptive method figure Police role in does remove to act terrorism crime that is gone upon to Number Law 15 Years 2003 about Remove Acts Teorisme crime. 
Key word:  Police role, Terrorism prevention
1
Terorisme adalah intimidasi terhadap warga sipil tak berdosa dan menghancurkan kepentingan – kepentingan dan sendi – sendi kehidupan mereka serta melakukan tindak kejahatan terhadap harta, kehormatan, kebebasan dan kemuliaan insan mereka dengan tujuan untuk menyebarkan kekacauan  dan keonaran dimuka bumi (Abdul Gani Emad, 2001 ; 57).
Terorisme adalah suatu kegiatan penggunaan kekerasan atau penggunaan ancaman untuk suatu kepentingan  ideologi atau politik (Tito Karnavian, 2008). Dalam lain pembahasan dikatakan oleh Davis Hinsa bahwa Sesungguhnya terorisme tidak semata-mata dilakukan oleh kelompok berlatarkan agama, bisa jadi sebuah gerakan terorisme berlatarkan gerakan separatis. Sehingga pemaknaan terorisme harus diluruskan terlebih dahulu. Dalam peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2002, yang ditegaskan dalam Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004, bahwasanya terorisme adalah tindakan yang dengan sengaja mengunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau faslitas publik atau fasilitas internasional.
Terorisme merupakan kejahatan lintas Negara yang terorganisir bahkan merupakan tindak pidana internasional yang memiliki jaringan sangat luas dan dapat mengancam  kedamaian dan keamanan. Menyadari bahwa tindakan teroris dapat terjadi dimana saja dan tidak pandang bulu, maka perlu untuk memahami tentang tindak pidana terorisme.  Kepolisian Negara Republik Indonesia telah dan terus berupaya menanggulangi terjadinya tindakan terror yang meresahkan masyarakat. dan untuk dapat menangkap para pelaku teror, aparat penegak hukum khususnya Polri tidaklah segampang bila kita membalikan tangan. Untuk menanggulangi tindakan para teroris penegak hukum membutuhkan payung hukum yang kuat. Para teroris akan mencari tempat yang belum tersentuh atau yang mereka anggap jauh dari jangkauan petugas dan bisa bersembunyi sekaligus merekrut dan menyusun strategi.
Patut menjadi pemahaman bersama bahwa jaringan teroris sulit diputus, karena teroris hidup ditengah masyarakat. Fakta menunjukan pula bahwa tersangka teror yang ditangkap pada umumnya “orang biasa” yang dekat dengan kemiskinan, seperti tukang jahit maupun penjual keliling. Menumpas terorisme harus dijadikan sebagai gerakan masyarakat bersama dan bukan semata-mata tugas Kepolisian. Hal tersebut merupakan tugas Negara untuk menyadarkan segenap potensi masyarakat untuk bangkit melawan terorisme. Seluruh elemen masyarakat diharapkan waspada terhadap aksi–aksi teroris, karena dimungkinkan akan tumbuh puluhan kader – kader baru yang bisa jadi lebih radikal, cerdas dan militan
Terorisme adalah salah satu bentuk kejahatan, yang saat ini kerap melanda Negara Indonesia, ketidak jelasan perjuangan yang ditegakkannya dengan dalih perang Jihad dan nyata–nyata banyak yang menjadi korbannya adalah warga tidak berdosa yang ternyata rakyat Indonesia sendiri. Dalam pengamatan penulis sering terdeteksi bahwa pelaku peledakan bom adalah orang–orang yang menggunakan identitas pejuang muslim atau islam, padahal kita tahu bahwa Islam tidak pernah menganjurkan dan tidak pernah mengajarkan untuk berbuat kekerasan.
2
Dalam  Kitab Suci  Al  Quran  ada enam surat yang membahas dan mengecam tentang tindakan terorisme  yaitu  :
a          Qur’an Surat Al – Maidah ayat 33  :  “Sesungguhnya balasan bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan berusaha melakukan kerusakan dimuka bumi, yaitu mereka dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki mereka secara bersilang. Yang demikian itu suatu kehinaan bagi mereka didunia sedangkan di akhirat mereka mendapat  siksa yang pedih “ .
b          Qur’an  Surat  Al – Baqarah  Ayat  195  “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri  kedalam kebinasaan “.
c          Qur’an Surat  Al –Hajj  ayat  39 – 40  “Telah diijinkan berperang bagi orang – orang yang diperangi karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah Maha Kuasa menolong mereka, yaitu orang – orang yang diusir dari kampung halamannya tanpa alasan yang benar kecuali mereka hanya berkata Tuhan Kami hanya Allah” 
d          Qur’an  Surat  Al – Anfal  ayat 60  “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kalian sanggupi dan dari kuda yang ditambat untuk berperang, yang dengan persiapan  itu kalian menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang – orang yang selain mereka yang kami tidak mengetahuinya, sedangkan Allah mengetahuinya “ .
e          Qur’an  Surat An – Nisa  ayat  29-30  “Dan janganlah kalian membunuh diri kalian. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepada kalian, Dan barang siapa yang berbuat demikian  dengan melanggar  dan dianiaya maka Kami kelak akan memasukannya kedalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah “.
F          Qur’an  Surat  Al – Maidah  ayat  32  “Barang siapa yang membunuh seseorang manusia bukan karena orang itu membunuh orang lain atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi maka seakan – akan ia telah membunuh manusia seluruhnya “.

Ada keterbelakangan pengetahuan masyarakat Indonesia yang berada jauh dari lingkungan kemudian disusupkan dengan faham Islam yang beraliran keras, maka jadilah tindakan nekat untuk menjadi Bom bunuh diri, dari pembelajaran pemberian hukum tersebut terlihat begitu lama proses dan penentuan hukumannya, sehingga masyarakat bertanya ada apa dibelakang hal tersebut, namun yang pasti rakyat Indonesia akan menuntut adanya pemberian hukuman mati bagi semua pelaku terorisme tersebut. Akhir-akhir ini, Negara dan bangsa kita telah mengalami masalah yang berat. setelah terhimpit dalam persoalan pengangguran, himpitan ekonomi dan kesejahteraan yang tidak merata, kita juga dihadapkan pada rasa takut yang ditimbulkan oleh gerakan terorisme.
Bagi ideologi seorang teroris, cara apapun akan ditempuh demi mencapai keinginannya. Termasuk menggunakan bom dan berbagai senjata mutakhir lainya yang dapat menimbulkan rasa takut yang luar biasa. Pendek kata “ bom “  sudah dijadikan sebagai senjata politik teroris yang efektif demi mewujudkan keinginannya. mereka tidak lagi mempertimbangan etika kemanusiaan, mereka tidak lagi peduli lagi dengan korban jiwa atau luka–luka mengerikan yang diakibatkan oleh ledakan Bom, kapan saja mereka mau, maka terjadilah.
3
Beberapa kasus terorisme yang tidak mungkin dilupakan oleh rakyat dan Negara Indonesia yaitu tanggal 1 Oktober 2005 terjadinya ledakan bom Bali di Kuta Jimbaran dan menewaskan 23 orang dan luka-luka lebih dari 200 orang (Dedi Junaedi, 2003 ; 3).
Dinegara – Negara maju, tehnik dan taktik investigasi tindak pidana terorisme senantiasa diperbaharui disamping untuk mengoptimalkan kegiatan investigasi tindak pidan terorisme yang terjadi, juga untuk penyesuaian terhadap isu–isu global yang saat ini mendunia seperti Terorisme, Perdagangan gelap narkoba, Perdagangan wanita dan anak- anak, Hak Azasi Manusia dan lain – lain. Pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia telah melakukan serangkian kerjasama dengan lembaga–lembaga Kepolisian diberbagai Negara dan tentunya telah didapat berbagai pengetahuan taktik dan tehnik Kepolisian  yang baru yang layak dipelajari dan seandainya mungkin untuk diadopsi. Dan upaya tersebut tentunya harus pula didukung oleh  penerapan sangsi yang tepat pula.
Dari berbagai kenyataan diatas tersebut, bahwa membasmi gerakan teroris tidak bisa berhasil bila hanya dilakukan oleh Polri dan TNI saja, membasmi teroris perlu kerja sama diantara seluruh komponen bangsa untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan terhadap ancaman terorisme untuk mencegah dijadikannya wilayah Indonesia sebagai tempat persembunyian para teroris. Tertangkapnya  Abu Dujana dan tewasnya Dr, Azhari serta Noordin .M. Top bukanlah akhir dari perjuangan bangsa dalam memerangi terorisme, langkah preventif jauh lebih efektif dibanding memburu teroris.
Sehubungan dengan banyaknya terjadi peristiwa pemboman di wilayah Republik Indonesia akhir–akhir ini telah menimbulkan rasa takut di masyarakat secara luas, yang mengakibatkan hilangnya nyawa serta kerugian harta benda dan juga berpengaruh yang tidak menguntungkan pada kehidupan sosial ekonomi, politik dan hubungan Indonesia dengan dunia internasional. Peledakan bom tersebut merupakan salah satu modus pelaku terorisme yang menjadi fenomena umum diberbagai negara. Terorisme ini merupakan kejahatan atas Negara yang terorganisir dan mempunyai jaringan luas yang dapat mengancam perdamaian dan keamanan nasional maupun  Internasional. Dan untuk melindungi segenap bangsa dan rakyat Indonesia dari ancaman kejahatan terorisme, maka pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah pengganti Undang Undang  Nomor 1 tahun 2002 tersebut telah ditetapkan menjadi Undang Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Kepolisian Republik Indonesia harus membangun sosok Polri yang simpatik dalam menjalankan tugas penyidikan, begitu pula peran Polri dalam hal pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme. Polri harus bekerja sama dengan instansi terkait lainnya dan masyarakat. Polri harus cerdas dalam mensiasati segala hambatan yang ada melalui cara yang proporsional dan professional dalam pencegahan Terorisme. Membangun kemitraan dengan masyarakat adalah salah satu upaya Polri dalam upaya pencegahan terjadinya tindak pidana terorisme. Pemberdayaan masyarakat dalam Pemolisian Masyasakat merupakan upaya awal dalam deteksi dini dalam penanggulangan terorisme.


4
Pasal. 2 Undang Undang Kepolisian  Nomor  2 tahun  2002  mengatakan bahwa Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan Negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka aksi terorisme ini sudah tentu menjadi tugas dan tanggung jawab Kepolisian Republik Indonesia. Lembaga Kepolisian di Negara Kesatuan Republik Indonesia, selaku pengemban dan pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat perlu melakukan penanganan terorisme yang berupa upaya Pencegahan dan Pemberantasan Terorisme untuk menjaga stabilitas nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

PERAN POLRI DALAM PENANGANAN TERORISME

Pasal. 2   Undang Undang Kepolisian  Nomor  2 tahun  2002  yaitu  : “Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan Negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat “ .
Pasal  4   Undang Undang Kepolisian No. 2 Tahun 2002,  yaitu   :“Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak azasi manusia.“.
Kepolisian seperti juga istitusi keamanan pada umumnya, tidak bisa lagi bekerja dengan mengandalkan pada legalitas atau kewenangan saja atau anggapan-anggapan umum saja melainkan perlu bekerja secara lebih terukur, terarah dan terencana. Itulah era yang disebut  “the new managerialsm of police organization”  : suatu era tentang kinerja Kepolisian  selaku lembaga publik yang pada dasarnya harus bekerja dengan prinsip-prinsip tak ubahnya seperti lembaga privat, yakni memperhatikan efensiansi dan efektifitas, akuntabilitas dan pencapaian. Lembaga publik seperti Kepolisian menurut cara pandang ini tidak bisa berkilah untuk keluar dari prinsip-prinsip itu, adapun alasannya karena pada dasarnya tidak ada perbedaan antara lembaga publik dan lembaga privat dalam meningkatkan kebermanfaatan (Andrianus Maliala, 2006).
Kepolisian dalam Pencegahan Terorisme di Indonesia juga mengemban fungsi penegakan hukum. Ibarat dua mata pisau yang tajam satu sisi Kepolisian Republik Indonesia bertindak untuk mencegah aksi terorisme dengan mengedepankan pola “Kemitraan dengan Masyarakat” atau Perpolisian Masyarakat, yaitu suatu pola kerja sama dengan masyarakat dan menjadikan masyarakat sebagai Polisi bagi dirinya dan lingkungannya, namun disisi lain Kepolisian Republik Indonesia juga harus bertindak untuk menegakan hukum dan menjaga negeri ini dari segala bentuk ancaman dan gangguan dan salah satu contoh adalah adanya tindakan terorisme.



5
Kepolisian Negara Republik Indonesia membentuk satuan taktis dengan nama Detasemen Khusus 88 Anti Teroris, sebagai upaya menjaga keamanan dan stabilitas nasional Negara Indonesia. Dalam penanganan kasus terorisme Polri melakukan  upaya penindakan berupa penyerbuan dan penyergapan terhadap kelompok teroris Jemaah Islamiyah baik (JI) di Jatiasih, Bekasi maupun di Temanggung. Bahkan penyerbuan aparat di Temanggung berhasil menewaskan seorang teroris yang diduga adalah gembong teroris sendiri yang paling dicari-cari di Indonesia, Noordin M. Top. Aparat kepolisian yang sukses menunaikan tugas tersebut tidak pelak adalah satuan khusus Polri yaitu Densus (Detasemen Khusus) 88 Anti Teror yang memang dibentuk untuk bertugas menangani terorisme domestik.
Ketika menguat kampanye perang global terhadap terorisme, Pemerintah Indonesia meresponnya dengan menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 4 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Terorisme, yang kemudian dipertegas dengan diterbitkanya paket Kebijakan Nasional terhadap pemberantasan Terorisme dalam bentuk Peraturan Pengganti Undang-undang (Perpu) No. 1 dan 2 Tahun 2002. Sebagai respon dari Inpres dan kemudian Perpu tersebut Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan membentuk Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme yang langsung berada dibawah koordinasi Menteri Koordinasi Politik dan Keamanan. Desk tersebut memiliki legitimasi dengan adanya Surat Keputusan (Skep) Menko Polkam yang saat itu dijabat oleh Susilo Bambang Yudhoyono dengan Nomor Kep. 26/Menko/Polkam/11/2002. Dalam Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme, kesatuan Anti Teror Polri, yang lebih dikenal dengan Detasemen C Resimen IV Gegana, Brimob Polri bergabung dengan tiga organisasi anti terror angkatan dan intelijen. dalam perjalanannya institiusi anti teror tersebut kemudian melebur menjadi Satuan Tugas Antiterror dibawah koordinasi Departemen Pertahanan. Akan tetapi, lagi-lagi inisiatif yang dilakukan oleh Matori Abdul Djalil, Menteri Pertahanan berantakan, karena masing-masing kesatuan anti terror tersebut lebih nyaman berinduk kepada organisasi yang membawahinya. Praktik Satgas Anti Teror tersebut tidak efektif berjalan, selain karena eskalasi ancaman terror sejak Bom Bali I dan konflik komunal yang memaksa masing-masing kesatuan anti terror akhirnya berjalan sendiri-sendiri.
Akan tetapi, eskalasi teror yang begitu cepat memaksa Polri untuk mengkhususkan permasalahan anti terror pada satuan tugas khusus, dan akhirnya dibentuklah Satuan Tugas (Satgas) Bom Polri yang tugas pertamanya adalah mengusut kasus Bom Natal tahun 2001 dilanjutkan dengan tugas-tugas terkait ancaman bom lainnya. Satgas Bom Polri ini menjadi begitu terkenal publik saat menangani beberapa kasus peledakan bom yang terkait dengan kalangan luar negeri, sebut saja misalnya Bom Bali I, Bom Bali II, Bom Marriot, dan Bom Kedubes Australia. Satgas ini berada dibawah Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri, dan dipimpin oleh perwira polisi bintang satu. Kepala Satgas Bom Polri yang pertama adalah Brigadir Polisi Gories Mere , dan kemudian digantikan oleh Brigjen Polisi Bekto Suprapto, dan yang ketiga adalah Brigjen Polisi Surya Dharma Salim Nasution. Bekto dan Surya Dharma berturut-turut menjabat sebagai Komandan Densus 88 AT yang pertama dan kedua.

6
Ada pertanyaan yang mengemuka yang berkembang di masyarakat, mengapa hanya Polri yang diberi wewenang dalam pemberantasan tindak pidana terorisme ini  ? Ada tiga alasan mengapa akhirnya Polri diberikan kewenangan utama dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, yakni:
1.    Pemberian kewenangan utama pemberantasan tindak pidana terorisme merupakan strategi pemerintah untuk dapat berpartisipasi dalam perang global melawan terorisme, yang salah satunya adalah mendorong penguatan kesatuan khusus anti terorisme yang handal dan profesiona, dengan dukungan peralatan yang canggih dan SDM yang berkualitas. Sebagaimana diketahui bahwa pembentukan Densus 88 AT Polri ini menghabiskan dana lebih dari Rp. 15 Milyar, termasuk penyediaan senjata, peralatan intai, alat angkut pasukan, operasional, dan pelatihan, yang merupakan bantuan dari negara-negara Barat khususnya Amerika Serikat dan Australia. Sebagaimana diketahui bahwa ketika Densus 88 AT Polri terbentuk, TNI masih diembargo persenjataan dan pendidikan militernya oleh negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat. Sehingga salah satu strategi untuk mendirikan kesatuan anti terror tanpa terjegal masa lalu TNI adalah dengan mengembangkannya di kepolisian.
2.    Kedua, kejahatan terorisme merupakan tindak pidana yang bersifat khas, lintas negara (borderless) dan melibatkan banyak faktor yang berkembang di masyarakat. Terkait dengan itu terorisme dalam konteks Indonesia dianggap sebagai domain kriminal, karena cita-cita separatism sebagaimana konteks terorisme dulu tidak lagi menjadi yang utama, tapi mengedepankan aksi terror yang mengganggu keamanan dan ketertiban, serta mengancam keselamatan jiwa dari masyarakat. Karenanya terorisme dimasukkan ke dalam kewenangan kepolisian.
3.    Menghindari sikap resistensi masyarakat dan internasional perihal pemberantasan terorisme jika dilakukan oleh TNI dan intelijen. sebagaimana diketahui sejak Soeharto dan rejimnya tumbang, TNI dan kemudian lembaga intelijen dituding sebagai institusi yang mem-back up kekuasaan Soeharto. Sehingga pilihan mengembangkan kesatuan anti terror yang professional akhirnya berada di kepolisian, dengan menitikberatkan pada penegakan hukum, pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat dalam rangka terpeliharanya Keamanan Dalam Negeri (Kamdagri), sebagaimana yang ditegaskan dalam UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Polri, khususnya Pasal 2,4, dan 5.
Dengan alasan tersebut di atas, keberadaan Densus 88 AT Polri harus menjadi kesatuan professional yang mampu menjalankan perannya dengan baik sesuai dengan tugas dan fungsinya sebagaimana ditegaskan pada awal pembentukan. Bila merujuk pada Skep Kapolri No. 30/VI/2003 tertanggal 30 Juni 2003 maka tugas dan fungsi dari Densus 88 AT Polri secara spesifik untuk menanggulangi meningkatnya kejahatan terorisme di Indonesia, khususnya aksi terror dengan modus peledakan bom. Dengan penegasan ini berarti Densus 88 AT Polri adalah unit pelaksana tugas penanggulangan terror dalam negeri, sebagaimana tertuang dalam UU Anti Terorisme.


7

Tidak sampai disitu saja, penamaan Densus 88 AT Polri juga dipertanyakan banyak pihak, semisal adanya angka 88 di depan penamaan Densus dianggap mengekor pada Delta 88, pasukan khusus Amerika Serikat. Padahal angka 88 dibelakang nama densus adalah simbolisasi sepasang borgol, yang identik dengan tugas kepolisian. Di samping itu juga angka 88 dianggap sebagai angka kramat,karena angka tersebut merupakan representasi jumlah korban terbanyak dalam Peledakan Bom Bali I, tahun 2002 yang merupakan warga negara Australia. Di samping itu angka delapan juga dimaknai oleh Densus 88 AT Polri sebagai pekerjaan pemberantasan terorisme yang tak kenal henti dan dan berkesinambungan. Sedangkan tulisan AT atau anti terror yang berada dibelakang angka 88 dianggap sebagai mengklaim keseluruhan lembaga anti teror yangada di Indonesia, sehingga dianggap sebagai upaya untuk mengambil porsi kewenangan kesatuan anti terror lain yang masih aktif, baik di TNI maupun BIN. Penggunaan anti terror dibelakang angka 88 sesungguhnya merujuk pada reinkarnasi dari Satgas Bom dan Direktorat VI Anti Teror yang berada di bawah kendali Bareskrim Polri menjadi Densus 88 AT Polri. Penegasan anti terror ini juga untuk membedakan dan membatasi wewenang Densus 88 AT Polri hanya terbatas pada fungsi kontra terror, khususnya terhadap aksi terror dengan bahan peledak.
Dengan mengacu pada uraian tersebut diatas, maka tak heran apabila Densus 88 AT Polri diharapkan oleh internal Polri dan pemerintah Indonesia untuk menjadi kesatuan anti teror yang handal dan professional. Sejak tahun 2003 hingga kini, Densus 88 AT Polri telah berperan aktif dalam pemberantasan tindak pidana Terorisme, sebagaimana amanat UU No.2 Tahun 2002 Tentang Polri, dan UU Anti Terorisme. Dua bulan setelah kesatuan ini terbentuk, langsung dihadapi dengan terjadinya serangan bom mobil di Hotel J.W. Marriot, yang merupakan hotel miliki jaringan Amerika Serikat, 13 orang tewas. Dalam hitungan minggu, jaringan pengebom hotel mewah tersebut dapat dibongkar, dan ditangkap .
Masa persidangan para pelaku bom Marriot belum usai, pada 9 September 2004 Jakarta dikejutkan kembali dengan ledakan bommobil berkekuatan besar di depan Kedutaan Besar Australia, Jl. Rasuna Said, Kuningan Jakarta. Peledakan bom ini menewaskan puluhan orang yang tidak terkait dengan kedutaan besar tersebut. yang fantastis adalah dalam waktu satu bulan, Densus 88 AT Polri bersama Australia Federal Police (AFP) berhasil membongkar kasus tersebut, dan menangkap para pelakunya diganjar dengan penjara belasan tahun dan hukuman mati.
Setahun setelah ledakan bom di depan Kedutaan Besar Australia, atau yang dikenal dengan Bom Kuningan, Bali, Pulau Dewata kembali diguncang bom dengan kekuatan besar, meski tak sebesar Bom Bali I. Meski demikian ledakan tersebut 23 orang dan melukai ratusan lainnya. Sekali lagi, dalam tiga bulan, dengan gerak cepat Densus 88 AT Polri dapat membongkar dan menangkapi para pelakunya. Bom Bali II ini pula yang mendekatkan Densus 88 AT Polri dengan gembong terorisme yang paling dicari di Indonesia Dr. Azahari.




8
Selang satu bulan setelah Bom Bali II, Densus 88 AT Polri menyerbu kediaman buronan teroris Dr. Azahari, di Batu Malang, Jawa Timur. Penyerbuan ini menyebabkan gembong teroris yang paling dicari di Indonesia dan Malaysia ini tewas, dan kasus inilah yang kemudian melambungkan nama Densus 88 AT Polri sebagai satuan anti terror terkemuka di Asia. Dalam waktu bersamaan juga Densus 88 AT Polri berhasil menangkap pelaku peledakan bom di Pasar Tradisional Kota Palu. Pelaku merupakan salah satu dari kelompok yang bertikai di Poso.
Peran yang melekat pada Densus 88 AT Polri ini sesungguhnya mempertegas komitmen Polri, dan pemerintah Indonesia dalam berperan aktif dalam Perang Global melawan Terorisme. Sepanjang empat tahun sejak terbentuknya, peran dan fungsi Densus 88 AT Polri, tidak saja mengharumkan nama kepolisian, tapi juga negara didunia internasional. Dan memperluas keorganisasian Densus 88 AT Polri hingga ketingkat daerah menjadi penegas bahwa komitmen Polri dalam memberantas tindak pidana terorisme tidak main-main. Bahkan dalam perjalanannya, Densus juga tidak hanya terfokus pada identifikasi dan pengejaran aksi terror dan bom, tapi juga membantu unit lain di Polri dalam menindak pelaku kejahatan lainnya seperti Illegal Logging, narkotika dan lain sebagainya. Bahkan tak jarang pula Densus 88 AT Polri membantu identifikasi permasalahan kewilayahan sebagaimana yang pernah terjadi pada kasus pengibaran bendera RMS pada acara kenegaraan di Maluku. Meski terfokus pada pemberantasan tindak pidana terorisme, sesungguhnya Densus 88 AT Polri juga memiliki tiga peran dan fungsi yang melekat lainnya yakni  :
1.    Densus 88 AT Polri berada di Bareskrim Mabes Polri, dan Ditserse Polda, maka personil Densus 88 AT juga merupakan personil dengan kualifikasi seorang reserse yang handal. Sehingga tak heran apabila setiap aktivitas yang melibatkan Bareskrim dan Ditserse, hampir selalu menyertakan personil Densus 88 AT Polri di lapangan, khususnya terkait dengan kejahatan khusus, seperti; narkoba, pembalakan liar, pencurian ikan, dan lain-lain.
2.    Personil Densus 88 AT Polri juga merupakan seorang anggota Polri yang memiliki kualifikasi sebagai seorang anggota intelijen keamanan, dalam melakukan pendeteksian, analisis, dan melakukan kontra intelijen. Dalam beberapa kasus keterlibatan anggota Densus 88 AT dalam kerja-kerja intelijen kepolisianjuga secara aktif mampu meningkatkan kinerja dari Mabes Polri ataupun Polda setempat, sebagaimana yang dilakukan Polda-Polda yang wilayahnya melakukan Pilkada dan rawan konflik lainnya.
3.    Personil Densus 88 AT Polri juga adalah seorang negoisator yang baik. Seorang negoisator dibutuhkan tidak hanya oleh Densus 88 AT tapi juga oleh organisasi kepolisian secara umum. Artinya seorang negoisator dibutuhkan untuk meminimalisir jatuhnya korban jiwa yang lebih besar, dengan tetap menegakkan egat, sebagai pilar utama tugas kepolisian secara umum. Negoisasi sangat pelik sempat dilakukan saat mengepung tempat persembunyian Dr. Azahari dan Noordin M.Top. Meski keduanya tidak dapat ditangkap,karena Dr. Azahari memilih meledakkan diri, dan Noordin M.Top berhasil lolos, namun prosedur dan langkah yang dilakukan oleh negoisator dari Densus 88 AT Polri negatif berhasil, karena tidak sampai melukai ataupun berdampak negatif pada masyarakat sekitarnya.

9
UPAYA  POLRI DALAM PENANGGULANGAN KAMTIBMAS

Dalam melaksanakan tugas-tugas kepolisian yang telah diberikan berdasarkan Undang Undang serta fungsi kepolisian yang melekat yaitu sebagai penegak hukum, pelindung, pengayom, pembimbing dan pelayan masyarakat dan dengan kewenangan-kewenangan yang dimiliki, maka POLRI membangun suatu upaya-upaya untuk melakukan penanggulangan setiap gangguan kamtibmas sekaligus mewujudkan profesionalisme  dengan melaksanakan strategi-strategi (Harsja W. Bachtiar, 1993:123).
1. Strategi Deteksi Dini (early warning detection) Merupakan upaya dan langkah awal untuk memperoleh dan mendapatkan informasi sebanyak mungkin data dan keterangan dari segenap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara (Ipoleksosbudhankam) diolah dan dianalisis untuk disusun dalam suatu prediksi intelijen terhadap setiap kemungkinan yang akan terjadi.
2. Strategi Pre-Emtif (to win the heart of the people) Merupakan upaya proaktif dan internaktif dalam rangka pembinaan, penataan dan pemanfaatan potensi masyarakat dalam upaya merebut simpati rakyat.
3. Strategi Preventif (prevention is better than cure) Merupakan upaya yang bersifat pencegahan dan pengeliminiran terhadap setiap bentuk-bentuk ancaman gangguan kamtibmas dengan memberikan pengayoman, perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat.
4. Strategi Represif (fight the crime, love humanity and help deliquent) Merupakan upaya yang bersifat penegakkan hukum dengan menjamin tegaknya hukum, tertib hukum yang dilaksanakan secara tegas, professional dan tuntas dengan tetap menjunjung tinggi HAM (Hak Asasi Manusia).
5. Strategi Rehabilitasi (Law Abiden Citizen) Merupakan upaya untuk memulihkan akibat atau dampak yang timbul dari suatu peristiwa atau pelaksanaan strategi lainnya sehingga keadaan/kondisi dapat dipulihkan kembali. Oleh karena itu strategi ini dilaksanakan sesuai kebutuhan dan kewenangan yang dimiliki oleh POLRI.
6. Strategi Penataan Pelaksanaan Tugas Operasional Kepolisian Merupakan upaya untuk melakukan penataan kembali penyelenggaraan operasi-operasi khusus kepolisian dengan memberikan kewenangan yang lebih kepada Polda (mandiri atau kewilayahan) dalam menentukan prioritas sasaran operasi sesuai target operasi yang didasarkan atas karakteristik daerah masing-masing.
Upaya pelaksanaan tugas POLRI dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat serta menegakkan hukum dalam rangka supremasi hukum tidak akan bisa dilaksanakan tanpa ada bantuan dan dukungan serta kerja sama dengan semua lapisan masyarakat, termasuk di dalamnya adalah instansi pemerintah dan militer. Demikian pula halnya dengan political will dari pemerintah yang benar-benar ingin mewujudkan POLRI yang profesional dan mandiri dalam rangka penegakkan keamanan dan hukum diikuti dengan pembenahan, penataan segala perangkat perundang-undangan dan hukum yang sudah tidak mampu mengakomodir dan menampung semua permasalahan yang berkembang.

10
POLRI tidak hidup dalam ruang hampa dan POLRI merupakan suatu sistem yang terbuka dan bebas dari segala intervensi dalam proses penegakkan hukum karena sudah ada ketentuan hukum, peraturan yang menentukan langkah atau proses penegakkan hukum dalam rangka supremasi hukum.
Dalam hal menjaga kemanan dan ketertiban yang bermuara pada penegakkan hukum, maka peningkatan koordinasi serta kerja sama yang baik secara proporsional sangat diperlukan, karena masalah keamanan dan penegakkan hukum bukan semata-mata hanya dapat diatasi oleh para aparat penegak hukum POLRI saja, akan tetapi berbagai aspek serta situasi dan kondisi yang dinamis sangat berpengaruh pada hukum dan keamanan itu sendiri. Pendidikan agama yang ada dimasyarakat juga menjadi faktor yang sangat penting. Polri dalam hal ini mengedepankan pola “Perpolisian Masyarakat” sebagai salah satu upaya dalam mencegah terjadinya tindak pidana terorisme.
Ada pendapat yang berkembang bahwa teroris itu adalah juga manusia. Dia harus diperlakukan secara manusiawi. Saya setuju dengan pendapat ini. Coba saksikan yang direkrut adalah warga yang tidak berpendidikan di desa-desa terpencil, yang masih lugu yang tidak tahu akibat dari pekerjaan yang ditimbulkannya. Oleh karena itu salah satu cara adalah memanusiawikan mereka dan sudah saatnya pula pendidikan perlu menjadi prioritas. Pendidikan nampaknya semakin penting di masa kegalauan sekarang ini, ya, sudah tentu termasuk pendidikan agama yang memiliki pandangan luas. Bukan pendidikan yang berpikiran sempit. Singkat kata, warga yang mau saja direkrut tanpa melihat untung rugi, tanpa tahu akibat pekerjaannya adalah manusia robot. Kesimpulannya semakin banyak warga Negara Indonesia mau dijadikan anggota Teroris, itu membuktikan bahwa warga kita masih tertinggal di bidang pendidikan. Pola pikir inilah yang harus kita ubah bagaimana teroris Indonesia yang juga adalah warga negara kita juga perlu diadakan dialog-dialog, bertukar pikiran. Bukan berarti saya tidak setuju teroris di Indonesia di basmi, tetapi masih banyak cara lain yang harus kita lakukan ke depan, bukan semata-mata menghilangkan nyawanya.( Dasman Djamaludin,1992 :  85 )
Dilihat dari banyaknya pelaku bom bunuh diri yang dilakukan oleh remaja dan sering dideteksi berasal dari salah satu pondok pesantren, maka pemerintah Indonesia hendaknya mulai mengkhususkan lembaga agama dan tokoh-tokoh agama mampu mensosialisasikan bagaimana pendidikan agama itu seharusnya, dan para remaja Indonesia mulai diberi pandangan tentang perbedaan antara  teroris dan jihad. Polri dalam program pencegahan bahaya terorisme dalam pelaksanaanya selalu bermitra dengan masyarakat (tokoh agama, tokoh masyarakat). Program tersebut dilaksanakan sebagai upaya penciptaan Polri yang dapat dicintai masyarakat dan Polri harus dapat menjadi Pelindung, Pengayom dan Pelayanan Masyarakat
Dari uraian tersebut diatas, memunculkan beberapa pertanyaan, kenapa baru sekarang para ulama dan organisasi masyarakat Islam benar-benar lebih tegas dalam mengutuk terorisme dan bagaimana peran pemerintah dan instansi terkait dalam melakukan sweeping terhadap buku dan literatur yang dapat menyesatkan masyarakat Indonesia khususnya para remaja dalam mengartikan tentang jihad.

11

TERORISME DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGIS

        Salah satu hal yang menarik dari kasus terorisme dengan menggunakan bom sebagai alat utamanya diatas adalah pemboman itu dibarengi juga dengan pelakunya yang turut meledakkan dirinya bersama-sama dengan bom yang dibawanya. Bom Bali 1, bom JW Mariott, bom Kedubes Australia, dan bom Bali 2 adalah contoh dari bom bunuh diri dimana pelakunya turut meledakkan dirinya sendiri. Bom-bom tersebut dibawa oleh pelaku dengan cara dilekatkan pada tubuhnya (bom Bali 1 dan 2) atau dengan menggunakan mobil (bom Mariott dan Kedubes Australia). Adakah suatu kondisi psikologis khusus yang dialami oleh para pelaku bom bunuh diri itu sehinggan mampu untuk melakukan hal tersebut ? Tentunya tidak semua orang mampu untuk melakukan hal itu, karena kesadaran bahwa dirinya ikut mati bersama dengan meledaknya bom tersebut pasti telah melekat di benak pelakunya.
            Terorisme biasanya didefinisikan sebagai sebuah strategi kekerasan yang dirancang untuk meningkatkan pencapaian hasil-hasil yang diinginkan dengan sedikit demi sedikit menciptakan perasaan takut di kalangan publik. Dari definisi diatas dapat diambil beberapa poin, antara lain terorisme adalah sebuah strategi dengan menggunakan kekerasan. Kekerasan yang digunakan antara lain dapat berupa perlawanan bersenjata, revolusi, penyanderaan, kup berdarah, pembunuhan acak, pemboman (termasuk bom bunuh diri), dan lain-lain. Selain itu tujuan dari terorisme adalah tercapainya tujuan yang diinginkan mereka. Walaupun demikian tujuan sebenarnya dari sebuah aksi terorisme adalah efek dari strategi kekerasan yang diciptakan para teroris yaitu menciptakan perasaan ketakutan di kalangan publik. Hal inilah pula (ketakutan publik) yang membedakan kekerasan teroris dari bentuk-bentuk kekerasan lainnya. Terorisme justru menciptakan kekerasan bagi pihak ketiga (publik) yang bahkan bukan merupakan tujuan mereka yang sebenarnya. Kekerasan terhadap pihak ketiga (publik) memang secara sosial menakutkan apabila penduduk sipil juga turut menjadi korban dan penentuan korban ini tidak dapat diperkirakan, dengan demikian, perasaan ketakutan bahwa setiap orang dapat menjadi korban menjadi meluas. (Fatih Suhud, 2003 ; 30 ).
            Terorisme bunuh diri yaitu kesiapan dan kesediaan untuk membunuh dan terbunuh dalam proses melakukan tindakan terorisme merupakan salah satu bentuk dari tindakan kekerasan yang dilakukan teroris. Di Indonesia, contoh nyata dari terorisme bunuh diri adalah bom Bali 1 dan 2, bom JW Mariott, dan bom Kedubes Australia. Di luar negeri misalnya adalah tragedi Menara WTC New York, dan kasus bom London. Telah lama diteliti bahwa pada dasarnya terorisme dibagi ke dalam 2 bagian, Pertama Terorisme Separatis Nasionalis, yaitu Terorisme Separatis Nasionalis biasanya dilatarbelakangi oleh usaha untuk memisahkan diri dari suatu negara dengan mengambil tindakan terorisme sebagai jalan keluar. Kelompok ini antara lain terdapat pada kelompok ETA di Provinsi Basque, Spanyol atau gerilyawan Zapatista dan Kedua Terorisme Ideologis Anarkis. Yaitu Terorisme Ideologis Anarkis biasanya dilatarbelakangi oleh perbedaan ideologi (kultural, agama, dll) antara kelompok teroris dengan negara dimana mereka berada. Kelompok ini antara lain teroris Sayap Kiri Italia, Red Army Faction di Jerman, atau Kelompok Al-Qaeda.

12
TERORISME DALAM PERSPEKTIF AGAMA

Menurut defenisi, terorisme adalah pemakaian kekuatan atau kekerasan tidak sah melawan orang atau properti untuk mengintimidasi atau menekan suatu pemerintahan, masyarakat sipil, atau bagian-bagiannya, untuk memaksakan tujuan sosial atau politik. Dengan ditangkapnya para pelaku pengeboman baik di Bali maupun d Jakarta, orang baru menyadari bahwa di Indonesia terdapat suatu kelompok islam aliran keras yang menginginkan negara Indonesia menjadi negara yang berazaskan islam, berdasarkan data yang dikumpulkan oleh tim pengungkapan kasus Bali, para pelaku yang tertangkap ini merupakan pelaku yang selama ini melakukan teror bom yang terjadi diseluruh Indonesia sejak tahun 2000 dibeberapa tempat di Indonesia khususnya tempat ibadah kristani yaitu gereja yang mengakibatkan terjadinya korban jiwa dan materi. Pelaku ini diidentifikasi beralifiasi ke kelompok Jemaah Islamiyah yang didirikan oleh ustad Abu Bakar Ba'asyir di Malaysia sedangkan wilayah gerakannya berada di seluruh kawasan Asia Tenggara dan berdasarkan data intelijen maupun pengakuan para pelaku yang tertangkap gerakan tersebut berpusat sekarang ini di Indonesia. Dengan adanya informasi tersebut berarti kemungkinan besar aksi-aksi terorisme akan terjadi lagi.( Erwin Aras Genda, 2009  ; 25 )
Aksi terorisme merupakan suatu pilihan dari kelompok tertentu yang mempunyai niat baik bagi kelompoknya sendiri meskipun belum tentu baik bagi orang lain. Dalam memperjuangkan suatu ideologi Anarkis yang menurut mereka sangat benar dalam pilihan kehidupannya, aksi teror bunuh diri menjadi idola bagi kelompok teroris tersebut, dimana pelaku teror bom bunuh diri merasa yakin bahwa aksinya tersebut masuk dalam kategori Jihad dan sorga adalah jaminannya.
Kita terus menerus harus membuat pilihan-pilihan yang mendasar dalam semua bidang kehidupan. Setiap kali kita dihadapkan pada keharusan untuk mengambil suatu pilihan, ada prinsip-prinsip yang harus ditanamkan dalam pikiran. Setiap pilihan memiliki segi positif disatu pihak, sementara dipihak lain akan menuntut pengorbanan tertentu juga. Hal ini berlaku sama, baik untuk setiap relasi dengan manusia maupun dengan hal lain. Setiap kegiatan atau perjuangan hidup merupakan pilihan yang kita buat, pilihan ini member kita sebagian ganjaran tertentu, tidak pernah seluruhnya. Apapun pilihan yang kita buat selalu saja ada pertukaran timbal balik. ( Gershen  Kaufman & Lev Raphael, 1994  ; 11 ).
Aksi terorisme di Indonesia dapat dikatakan mewakili kepentingan kelompok maupun kepentingan pribadi seseorang. Aksi terorisme dipimpin oleh orang-orang yang tidak berasal dari Indonesia, orang Indonesia hanya sebagai kaki tangan dari adanya pelampiasan niat jahat dari negara diluar Indonesia yang mempunyai kepentingan pribadi untuk mengganggu keamanan dan ketertiban.




13


Banyaknya paradoks yang muncul secara wajar dari reaksi yang berasal dari kepentingan pribadi membuat tugas pemerintah yang menjaga keamanan dan ketertiban menjadi sukar dan menjadi bahan kritik. Ringkasan analisanya menunjukan kesalahan logis yang terdapat didalam meningkatkan kesejahteraan, pendidikan dan harapan penduduk, sedang saat yang sama pemerintah mengijinkan unsur-unsur asing menikmati keuntungan-keuntungan sosial ditanah air penduduk. Dari paradoks pokok ini banyak paradoks lainnya yang kurang pokok, sebagian besar dalam ruang lingkup masalah yang muncul dari hal pokok ini, makanya terdapat konflik-konflik yang akhirnya menjurus kepada kepentingan pemerintah.( Robert Van Niel, 1984 ; 224 )
Konflik yang diciptakan melalui aksi teror selalu dilatar belakangi dengan adanya perjuangan atau adanya kepentingan agama Islam, dan perjuangannya tersebut tidak jelas kemana arahnya. Banyak keterangan yang diberikan oleh pelaku teror selalu menggunakan dalil-dalil dan ayat Al Quran. Dalil-dalil dan ayat Al Quran dipergunakan dalam pernyataan tersebut. tidak ada agama apapun di dunia yang mengajarkan teror baik Islam maupun di luar Islam. yang ada hanyalah penafsiran keliru terhadap agamanya baik secara sektarian maupun ada kepentingan-kepentingan tertentu yang diagamakan. Langkah teror  bukan murni perintah dari agama, melainkan pertimbangan aksi yang sudah melalui proses pemikirannya si pelaku sendiri. " proses pemikiran ini dipengaruhi oleh banyak hal. Sektarianisme, politik, ekonomi, ketidakadilan, dan sebagainya," Jika sekarang ada teror di Indonesia kemudian orang menganggap bahwa itu ada hubungannya dengan Islam, itu jelas anggapan yang keliru. "Bagaimana teror yang ada di Ayodhya? Itu tempatnya orang Hindu," "Bagaimana dengan yang di Belfast, Irlandia? Disana Yang ada hanya orang Katolik dan Protestan, Mereka tempur setiap hari saling bunuh, apa itu ajaran Kristen? Misalnya lagi ada bom di Thailand. Thailand mayoritas penduduknya beragama Budha. Apa Budha mengajarkan teror? Jadi, ajaran agama tak bisa disatukan dengan perilaku teror yang mengatas namakan agama. Karena sebenarnya itu terpisah. Kenapa Islam yang jadi korban tudingan? "Karena ketepatan yang dilawan itu negara superpower yang dianggap memerangi negara Islam.( Hasyim Muzadi,Makalah  “Antara Islam dan Terorisme” –2009 )
Kesiapan untuk membunuh dan terbunuh dalam melakukan tindakan teror bunuh diri yang dikenal dengan bom bunuh diri telah menarik perhatian publik yang cukup besar dan menimbulkan kengerian yang luas. Media massa mempunyai andil membesarkan teroris ini, dengan membesar-besarkan ancaman seperti memberitakan adanya pelatihan teroris di negara-negara Timur-Tengah untuk melakukan misi bunuh diri dan ratusan pengikut yang fanatik bersumpah untuk mengorbankan dirinya guna pencapaian tujuan-tujuan suci ditayangkan diberbagai televisi baik nasional maupun internasional. Mengkafirkan atau menganggap kafir, memusryikan, memunafikan lawan-lawannya atau calon korbannya, merupakan senjata yang paling ampuh dan menimbulkan fanatisme yang berlebih-lebihan dan menyerang habis-habisan sampai-sampai menimbulkan kebencian terhadap mereka yang dianggap sebagai lawannya, derajad musuhnya direndahkan serendah-rendahnya.



14
Perkataan yang paling benar adalah Kitabullah dan tuntunan yang paling baik adalah sunnah Nabi Muhammad s.a.w., yang paling buruk adalah bid’ah dan setiap inovasi adalah penyelewengan dan setiap penyelewengan cuma punya tempat di Neraka. Mereka berteriak mengkafirkan orang-orang A.S. dan sekutunya telah membantai jutaan kaum muslimin dengan menyatakan bahwa satu jiwa orang muslim sangat berharga atau sangat mahal harganya dihadapan Allah, tetapi disisi lain mereka sendiri ternyata juga menumpahkan jiwa dan darah kaum muslimin, sebagaimana korban-korban dari tindakan aksi teror yang dilakukan oleh Imam Samodra - Amrozi Cs. antara lain - aksi bom Bali - bom di kedutaan Besar Australia, bom hotel JW. Mariot Jakarta dan lain sebagainya.( Djawara Putra Petir, 2009  ; 12 ).
Menyesatkan syariat atau hukum Allah yaitu perbuatan yang mendustakan Firman Allah, artinya telah melakukan perbuatan menambah atau mengurangi apa-apa yang diharamkan atau apa-apa yang di halalkan, apa-apa yang dikutuk atau apa-apa yang diridhoi, apa-apa yang diperintah atau apa-apa yang dilarang Allah.
Mereka yang tidak mentaati Perintah Allah dan bertaqwa kepadaNya serta tidak taat kepada RasulNya termasuk golongan pengikut Fir’aun, Yahudi alias Kafir atau orang-orang purbakala.

KESIMPULAN

               Masalah utama yang mau diselesaikan kaum kaum teroris pelaku bom bunuh diri bukan masalah ketidakadilan di Indonesia, bukan soal penggusuran kaum miskin kota dan pedagang kali lima. Buat mereka, itu semua adalah isu-isu sekuler yang kurang terlalu penting. Masalahnya adalah sederhana saja: kekeliruan dalam menafsirkan doktrin agama, “the perversion of religious interpretation”. Mereka bukan pahlawan kaum miskin dan pejuang ketidakadilan. Dan sudah seharusnya kita tak usah menganggap mereka sebagai pahlawan, entah pahlawan dunia Islam apalagi kaum miskin yang menjadi korban ketidakadilan. Ayat-ayat Quran yang selama ini mereka pakai untuk menjustifikasi tindakan mereka tidak akan bisa menyelamatkan mereka dari kutukan publik. Sebutan Abu Bakar Ba’asyir, terhadap tindakan bom bunuh diri sebagai “‘amaliyyah isytisyhadiyyah (tindakan martir) adalah sebutan yang salah. 
               Terorisme sangat bertentangan dengan ajaran islam. Oleh karena itu jangan pernah terhasut untuk terlibat dengan iming-iming surga. Kita harus menjadi muslim yang cerdas, yang mencintai muslim lainnya, yang tidak mau umat kita dicerca karena ulah keji para teroris yang mengatasnamakan agama islam. Untuk  mengungkap dan mendeteksi secara dini setiap aksi terorisme disarankan : Pertama Dalam rangka mencegah dan menanggulangi terorisme perlu segera adanya kerjasama menyeluruh antara aparat baik TNI maupun Polri serta dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat mulai tingkat RT dan RW. Kedua  Pemerintah perlu melakukan penyuluhan dan sosialisasi tentang bahaya ancaman terorisme yang dimulai dari para tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh pemuda serta kepada lapisan masyarakat paling bawah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar